Pembentukan kepribadian anak yang benar haruslah dilakukan
dengan pembinaan keimanan (akidah), pembinaan dan pembiasaan ibadah, pendidikan
perilaku (akhlak), pembentukan jiwa, pembentukan intelektualitas serta
pembinaan interaksi sosial kemasyarakatan. Masing-masing mempunyai cara praktis
yang harus dilaksanakan.
1. Pembinaan
keimanan.
Pembinaan keimanan bisa
dilakukan dengan cara: mengajarkan keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat dan
menyertai manusia dimanapun ia berada; menanamkan kecintaan kepada Allah dan
Rasulullah saw. serta menjadikan Rasulullah, keluarga dan para Sahabatnya sebagai
contoh; menyibukkan anak dengan membaca al-Quran dan as-Sunnah
sekaligusmembahas maknanya; membina keteguhan mereka dalam mempertahankan
keyakinan dan siap berkorban untuk hal tersebut.
Pada masa pertumbuhan anak,
merupakan karunia Allah bahwa hati manusia akan Allah lapangkan untuk dapat
menerima keimanan tanpa harus mengungkapkan argumentasi. Hal ini karena setiap anak yang lahir membawa nilai fitrah dan
keimanan (QS al-A’raf [7]: 172). Lihatlah, bagaimana Rasulullah saw.
menjadikan Ali bin Abi Thalib ra., anak yang belum genap sepuluh tahun usianya,
menjadi anak yang pertama memeluk Islam, mengenal Allah, mempelajari aturan-Nya
serta membela agama Allah dan Rasul-Nya.
Rasul saw. pernah berwasiat
kepada Muadz ra.:
وَانْفِقْ عَلَى عِياَلِكَ مِنْ طَوْلِكَ، وَلا عَنْهُمْ عَصَاكَ
أَدَبًا، وَأَخْفَهُمْ فِي الله
Nafkahilah keluargamu sesuai dengan kemampuan yang kamu miliki.
Janganlah kamu mengangkat tongkatmu di hadapan mereka serta tanamkanlah pada
mereka rasa takut kepada Allah (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari).
Rasa takut kepada Allah SWT
akan menghindarkan anak dari segala perbuatan buruk. Larangan Allah untuk
mencela merugikan, melukai atau membunuh orang lain akan dipatuhi oleh anak
yang punya rasa takut kepada Allah SWT. Begitupun makanan dan benda yang
diharamkan Allah, akan mereka jauhi.
2. Pembinaan
ibadah.
Pembinaan ibadah merupakan
penyempur-naan dari pembinaan akidah, dan menjadi cerminan keyakinan. Dr.
Said Ramadhan al-Buthi mengatakan, “Agar akidah anak tertanam kuat dalam
jiwanya, ia harus disirami dengan air ibadah dengan segala ragam dan bentuknya.
Dengan begitu akidahnya akan tumbuh kokoh dan tegar dalam menghadapi terpaan
badai dan cobaan kehidupan.”
Rasulullah saw. memberikan busyra (kabar gembira) dengan sabdanya, “Tidaklah seorang anak tumbuh
dalam ibadah sampai ajal menjemput dirinya, melainkan Allah akan memberi dia
pahala setara dengan 99 pahala shiddiq (orang-orang yang benar dan jujur).”
Pembinaan ibadah dilakukan
dengan mendorong pelaksanaan shalat wajib, ditambah dengan melakukan shalat
sunnah, selain mengajak mereka menghadiri shalat berjamaah di masjid.
Ibadah shalat akan mencegah anak dari perbuatan keji dan mungkar (QS
al-‘Ankabut [29]: 45). Mereka juga harus dibiasakan melakukan shaum sunnah
karena shaum akan menguatkan daya kontrol anak terhadap segala keinginan.
Mereka akan terbiasa sabar dan tabah. Demikian dengan amalan ibadah
lainnya yang harus dibiasakan untuk dilaksanakan oleh anak-anak agar mereka
mempunyai keterikatan dengan hukum-hukum Allah SWT.
3. Pendidikan
akhlak.
Akhlak adalah perangai yang
dibentuk. Karena itu anak memerlukan pendidikan akhlak agar aktivitas
sosial mereka terhindar dari penyimpangan serta kesalahan. Anak sangat
memerlukan pihak yang memperhatikan perilakunya. Mereka tumbuh sesuai dengan
pembiasaan yang dilakukan oleh orangtuanya. Perangai buruk seperti
menyendiri, emosional, ceroboh, temperamental, serakah dan sebagainya adalah
bentukan pendidik. Begitupun perangai yang baik semisal sopan, peduli,
dermawan, bijak, jujur dan sebagainya adalah bentukan pendidik. Oleh karena
itu, jika pendidikan akhlak tidak diberi perhatian serius, perangai buruk akan
menjadi masalah sebagaimana yang terjadi pada remaja dewasa ini.
Dalam pendidikan akhlak,
ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Adab (baik
saat bergaul dan berinteraksi) adalah prioritas dalam pendidikan akhlak.
Dari adab yang
baik akan lahir kebiasaan baik dan perilaku terpuji yang melahirkan amal salih.
Adab yang
buruk akan merusak pola pikir yang melahirkan kebiasaan buruk, membentuk
perilaku hina dan rendah serta melahirkan amal-amal buruk lainnya.
Dalam hal ini, orangtua
adalah contoh pertama, karena mereka adalah pendidik pertama. Ajaklah
anak untuk mendatangi ulama dan belajar dari mereka adab dan
menjalankan nasihat mereka. Beberapa adab yang wajib diajarkan kepada anak
adalah adab terhadap orangtua, bagaimana cara memanggil mereka dan memandang
orangtua; adab terhadap orang yang berilmu, terhadap orang yang lebih tua; adab
berinteraksi dengan sesama Muslim; adab dengan tetangga, meminta izin dalam
berbagai hal (izin memasuki rumah orang, izin penggunaan hak milik orang, dan
sebagainya); adab dalam berpenampilan; dan sebagainya.
Termasuk perilaku mendasar
yang harus dibentuk pada anak adalah sikap amanah. Setiap anak harus
memiliki sikap amanah. Rasulullah saw. telah menegaskan tanggung jawab seorang
anak atas amanah yang dia pikul. Rasulullah saw. tidak segan-segan untuk
memberi sanksi kepada anak yang mengkhianati amanah dengan menjewer telinga
anak tersebut. Imam an-Nawawi menyebutkan dalam kitab Al-Adzkar: Kami
meriwayatkan dalam kitab Ibnu Sinni dari Abdullah bin Bisir ash-Shahabi ra.
Yang berkata: “Ibuku pernah menyuruh aku menemui Rasulullah saw. dengan membawa
setandan anggur. Namun, aku memakan sebagian anggur itu sebelum
menyampaikan-nya kepada Rasulullah saw. Tatkala aku sampai di hadapan
Rasulullah saw., beliau menjewer telingaku sambil berkata,
‘Wahai yang mengkhianati janji.’”
Begitupula tentang akhlak
menjaga rahasia orang lain, menjaga kedengkian dan iri hati, serta jujur adalah
sikap dasar yang harus dibentuk pada anak.
4. Pembentukan
jiwa.
Pembentukan jiwa dilakukan
dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang dalam bentuk langsung yang
terasa secara fisik seperti: ciuman dan belaian; bermain dan bercanda dengan
mereka; menyatakan rasa sayang dengan lisan. Imam Bukhari meriwayatkan
dalam kitabnya Al-Adab al-Mufrad bahwa Abu Hurairah ra. Berkata, “Saya
mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku, Rasulullah
saw. memegang dengan kedua tangannya kedua telapak cucunya, Hasan dan Husain.
Kedua telapak kaki mereka di atas telapak kaki Rasulullah saw. Kemudian
beliau berkata, ‘Naiklah.’ Lalu
keduanya naik hingga kedua kaki mereka berada di atas dada Rasulullah
saw. Kemudian beliau berkata, ‘Bukalah mulutmu.’ Kemudian beliau
menciumnya dan berkata, ‘Ya Allah saya mencintainya dan
sungguh saya mencintainya.’”
Selain itu, bisa dilakukan
dengan cara memberi mereka hadiah, penghargaan dan pujian. Ini dapat
memberi pengaruh besar pada rasa saling berkasih sayang antara orangtua dan
anak serta akan membentuk jiwa yang lembut pada mereka. Rasulullah saw. pernah
membagi manisan kepada anak-anak yang turut shalat ashar bersama beliau.
Bahkan beliau memberi tambahan bagian kepada mereka. Cara lain membentuk
jiwa anak adalah menyambut mereka dengan penuh kehangatan. Sambutan penuh
hangat akan membuka jiwa mereka dan akan memudahkan mereka untuk mengungkap-kan
permasalahannya.
Sering menanyakan dan
memperhatikan keadaan mereka adalah cara lain membentuk jiwa anak. Sikap
tanggap orangtua punya peran besar dalam mengatasi persoalan mereka.
Suatu hari Ummu Aiman melaporkan bahwa Hasan dan Husain hilang. Rasulullah saw.
langsung meminta beberapa Sahabat untuk mencari ke berbagai arah. Ketika
ditemukan, Hasan dan Husain sedang berpelukan ketakutan karena di depan mereka
ada ular. Rasulullah saw. segera mengusir ular tersebut dan mendatangi
kedua cucu beliau, melepaskan rangkulan mereka dan mengusap kepala mereka
sambil berkata, “Demi ibu dan ayahku, semoga Allah memuliakan kalian.” Kemudian
beliau menggandeng mereka dan berkata, “Sebaik-baik penunggang adalah
mereka berdua.” Ini beliau lakukan untuk menghilangkan ketakutan mereka
agar jiwanya kembali stabil dan tenang. Perlakuan yang baik terhadap anak
akan memberikan ketenangan kepada mereka, mendekatkan hubungan orangtua dan
anak sehingga setiap masalah yang mereka hadapi dapat segera diselesaikan. Anak
yang jiwanya dipenuhi perhatian dan kasih sayang akan memperlakukan orang lain
dengan kasih sayang pula.
5. Pembentukan
intelektual.
Orangtua harus memotivasi
anak agar semangat mencari dan mencintai ilmu. Menuntut ilmu adalah
ibadah utama yang mendekatkan hamba kepada Rabb-nya.
Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat baik untuk membangun keilmuan dan
pemikiran mereka. Orangtua harus membimbing anak memahami hukum-hukum
Islam, mencarikan guru yang salih, mendidik anak terampil bahasa Arab dan
bahasa asing yang diperlukan, mengarahkan anak sesuai kecenderungan ilmiahnya,
menyediakan bahan bacaan di rumah dengan membuat perpustakaan rumah,
mengisahkan riwayat orang-orang salih pada generasi lalu serta mendorong anak
untuk mencontoh penguasaan keilmuan mereka.
Satu contoh adalah Ibnu
Sina. Menginjak usia 10 tahun, beliau telah memahami al-Quran dan adab dengan
baik. Beliau menguasai dasar-dasar agama, berhitung, ilmu mantik dan yang
lainnya. Ia mempelajari fikih, ilmu pengetahuan alam, tauhid dan lainnya
sehingga Allah membukakan bagi dirinya semua pintu ilmu karena kecintaan dan
kesungguhannya. Kemudian ia senang mempelajari ilmu kedokteran sehingga
pada masanya beliau dikenal sebagai ulama yang menguasai banyak ilmu dan saat
itu usia beliau 16 tahun. Tatkala beliau menemui kebuntuan dalam memahami satu
ilmu, beliau berwudhu dan menuju masjid untuk shalat dan berdoa agar Allah
membukakan kunci ilmu untuk dirinya. Beliau mengarang lebih dari 100 buku
dan artikel tentang berbagai bidang keilmuan. Semangat menguasai ilmu
pada anak-anak akan mengefektifkan waktu mereka dari kesia-siaan dan aktivitas
lain yang tidak berguna.
6. Pembinaan
kemasyarakatan.
Membina anak untuk
melakukan interaksi sosial bersama masyarakat menumbuhkan sikap kepedulian dan
tanggung jawab terhadap persoalan umat. Interaksi mereka di tengah
masyarakat memerlukan pemahaman yang matang. Utamanya ketika mereka
memasuki usia balig. Laksana orang dewasa, mereka terikat dengan aturan interaksi
sosial, yakni hubungan antara laki-laki dan perempuan serta hukum-hukum
kemasyarakatan seperti perekonomian, hubungan ketetanggaan, kekerabatan,
pertemanan, dan lain sebagainya. Anak harus memahami jenis pakaian apa
yang harus dikenakan untuk keluar rumah, paham batas-batas hubungan antara
lawan jenis, paham siapa yang harus dijadikan teman, dan bagaimana ia bersikap
terhadap tetangga. Kepada mereka juga harus dijelaskan tentang peran apa
saja yang ditetapkan Islam saat berada di tengah masyarakat. Pemahaman
ini akan membentuk sikap kepedulian (tidak apatis) dan mendorong mereka untuk
mengambil peran positif dalam masyarakat.
Ini bisa dilakukan dengan
cara mengajak mereka ke majlis pertemuan orang dewasa, menghadiri kajian di
masjid, turut dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, mengunjungi tetangga yang
sakit, bermalam di rumah sanak saudara yang salih, turut memberikan sedekah
kepada fakir miskin, ikut dalam organisasi sosial kemasyarakatan dan
sebagainya. Mereka juga bisa dilibatkan dalam urusan kebutuhan keluarga
semisal ditugaskan untuk menagih hutang. Mereka akan diajarkan untuk
menagih hutang dengan cara yang santun. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari
Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Dulu ada orang yang suka memberikan pinjaman kepada orang
lain. Ia berpesan kepada anak laki-lakinya, ‘Jika kamu mendatangi orang
yang sedang kesulitan maka maafkanlah ia. Semoga Allah memberikan ampunan
kepada kita.’ Lalu ia pun meninggal dan Allah memberi dia ampunan.”
Hikmahnya adalah ketika anak
terdidik untuk membantu keluarga, maka ia akan mempunyai kepekaan baru untuk
mengetahui apa saja yang diperlukan keluarganya, sebelum orangtua mereka
menjelaskan apa yang mereka perlukan.
Dari sini jelaslah bahwa
membentuk pribadi anak yang salih memerlukan keluarga yang memahami ideologi
Islam, lingkungan masyarakat yang menganut dan menjalankan syariah Islam, serta
negara yang menerapkan sistem pendidikan Islam. Tanpa semua itu, pembentukan
anak salih seutuhnya sulit diwujudkan.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Ratu Erma R]