Masa anak-anak adalah masa yang paling tepat untuk menanamkan suatu pemahaman. Bila anak-anak mendapat pemahaman yang benar sejak dini, maka pemahaman tersebut akan mengarahkan perilakunya pada masa yang akan datang. Sebaliknya jika sejak dini anak diberi pemahaman yang salah, maka hal itu juga berpengaruh pada pola pikir dan pola sikap yang akan terbentuk. Di sinilah tanggung jawab dan peran orangtua sangat dibutuhkan dalam proses penanaman pemahaman yang benar pada diri anak agar terbentuk idealisme Islam.


Membentuk Idealisme Anak
Sebagai konsekuensi dari keyakinan pada akidah Islam, orangtua harus membentuk bangunan keluarganya atas dasar ketaatan kepada Allah SWT. Artinya, orangtua harus membangun pemahaman seluruh anggota keluarganya dalam rangka meraih keridhaan Allah SWT melalui pelaksanaan hukum-hukum syariah. Mengenalkan hukum-hukum Islam kepada anak adalah tugas pertama dan utama orangtua. Orangtualah yang akan memberikan pengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya pemahaman Islam yang utuh terhadap diri anak. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi (HR al-Bukhari).
Satu hal yang penting dan mendasar untuk ditanamkan dalam kehidupan seorang Muslim sejak awal adalah penanaman akidah. Bahkan proses ini harus dimulai sejak anak berada dalam kandungan ibunya melalui lantunan ayat-ayat al-Quran serta doa yang terus dipanjatkan selama masa kehamilan. Selanjutnya, sejak dilahirkan ke dunia, anak harus dibimbing dan diarahkan agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Rabb-nya. Anak dibimbing untukmengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia diajari untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan-santun, kasih-sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajari untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk sosok yang idealis sebagai bagian dari pembentukan generasi berkualitas dipersiapkan oleh orangtua terutama oleh ibu. Ibu memiliki peran yang sangat vital dalam proses pendidikan anak sejak dini. Ibulah sosok yang pertama kali berinteraksi dengan anak, sosok pertama yang memberi rasa aman, dan sosok pertama yang dipercaya dan didengar omongannya. Karena itu, ibu menjadi sekolah pertama bagi anak anaknya untuk menjadi sosok yang memiliki idealisme.


Mengarahkan Idealisme Anak
Pribadi yang memiliki idealisme adalah pribadi tangguh, yang memiliki kepribadian Islam; berpikir islami dan berperilaku dengan standar hukum-hukum Allah SWT. Dengan itu ia mampu mengarungi hidup ini dengan benar dan membawa kemaslahatan. Beberapa hal yang harus ditanamkan orangtua khususnya ibu kepada anaknya dalam rangka membentuk idealisme pada anak di antaranya adalah:

1. Memahamkan anak bahwa satu-satunya agama yang diridhai Allah dan akan membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah Islam (Lihat: QS Ali Imran [3]: 19). Penanaman pemahaman ini sangat penting agar sejak dini anak hanya menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang harus diyakini dan diperjuangkan. Dengan begitu anak tidak akan ragu sedikit pun akan kebenaran agama yang dianutnya. Orangtua yang memiliki idealisme tentu tidak akan membiarkan anaknya mencari hakikat kehidupan seorang diri. Ia akan mengarahkan anaknya agar memahami hakikat kehidupan ini sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yakni hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Orangtua juga tidak akan membiarkan anaknya memiliki pemahaman bahwa semua agama itu benar hanya karena sama-sama mengajarkan penyembahan Tuhan meski berbeda caranya. Pendapat seperti ini akan menjadi racun bagi anak dan tidak akan mengokohkan akidah yang kuat pada diri anak, selain bertentangan dengan pemahaman QS Ali Imran ayat 19 di atas.

2. Menanamkan pada anak bahwa konsekuensi mengimani al-Quran adalah membenarkan semua isinya yang mengandung petunjuk dari Allah SWT untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat. Ditanamkan pula kesadaran bahwa bukti mengakui Nabi Muhammad saw. sebagai rasul adalah percaya kepada hadis-hadis beliau. Orangtua bisa mencari contoh syariah yang mudah dicerna oleh mereka, seperti perintah untuk berbakti kepada orangtua, berinfak kepada fakir miskin, larangan mengadu domba sesama Muslim, menipu, dll. Jelaskanlah bahwa di dalam perintah Allah SWT ada yang bersifat wajib atau sunnah, serta dalam larangan Allah SWT ada yang bersifat haram atau makruh berikut konsekuensinya. Tujuannya agar anak memiliki gambaran tentang syariah Islam dan merasa terikat dengannya.

3. Memahamkan hakikat baik dan buruk, serta terpuji dan tercela; bahwa kebaikan adalah apa saja yang Allah ridhai, sedangkan keburukan adalah apa saja yang Allah murkai. Yang terpuji adalah apa saja yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan yang tercela adalah apa saja dicela oleh Allah dan Rasul-Nya. Anak-anak harus selalu dipahamkan bahwa baik-buruk sesuatu itu harus sesuai dengan aturan Allah SWT, dan terpuji tercela sesuatu haruslah apa yang dipuji dan dicela oleh Allah SWT. Perlu disampaikan kepada anak, bahwa sungguh Allah itu Maha Penyayang atas makhluk-Nya, kita tidak perlu bersusah-payah menentukan baik dan buruk sesuatu karena telah ditetapkan oleh Dia. Allah menetapkan, manusia yang berbuat menurut akal pikiran dan hawa nafsunya serta tidak mengikuti aturan-Nya adalah kufur dan ingkar, dan kita harus menjauhi sikap demikian. Dengan pemahaman seperti ini, anak akan terbiasa mengukur dan menimbang setiap perilaku dan pilihan hidupnya sesuai dengan aturan Allah SWT, bukan dengan pertimbangan perasaan apalagi mengikuti perkembangan zaman sekarang yang sudah tidak karuan ini.

4. Dengan sering melatih proses berpikir Islamnya, pemikiran anak akan semakin meluas. Kemudian seiring perkembangan usianya, orangtua juga bisa mengarahkan pemahaman anak tentang persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat saat ini, yaitu tidak adanya penerapan syariah Islam di tengah kehidupan. Selanjutnya orangtua mendorong anak untuk terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar dan bersama-sama berjuang demi tegaknya syariah Islam yang akan menyelesaikan semua persoalan yang ada di masyarakat.


Idealisme Islam versus Intoleransi?
Saat orangtua berhasil mencetak anak-anaknya menjadi sosok yang idealis, yang selalu terikat dengan hukum-hukum Allah SWT, berarti orangtua telah berhasil mendidik anaknya sesuai dengan arahan Islam. Betapa bahagianya orangtua yang sukses mengantarkan anaknya menjadi sosok idealis, pejuang Islam yang salih dan konsisten membela kebenaran. Bahkan kebahagiaan orangtua tersebut akan terus mengalir walaupun Allah telah memanggilnya.
Keberhasilan membentuk idealisme Islam pada diri anak haruslah menjadi cita-cita bagi setiap orangtua. Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh pada setiap keluarga Muslim untuk senantiasa mewarnai kehidupan keluarganya dengan warna Islam yang jelas. Dengan begitu, karakter anak yang terbentuk adalah karakter Islam yang jelas, tidak abu-abu, apalagi warna-warni. Sikap orangtua yang seperti ini bukan berarti orangtua mengajarkan anak untuk tidak memiliki sikap toleransi terhadap agama lain atau bahkan dianggap menanamkan kebencian dan kekerasan pada anak. Tuduhan seperti ini tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Para orangtua Muslim tidak boleh terjebak dengan tuduhan dari kalangan yang antara lain dilontarkan kalangan liberal ini. Orangtua harus tetap istiqamah mengarahkan pendidikan dan pembinaan anak-anaknya agar memiliki idealisme Islam sehingga terbentuk generasi Islam yang berkualitas pada masa yang akan datang. WalLahu a’lam bi ash-shawab. []




Pembentukan kepribadian anak yang benar haruslah dilakukan dengan pembinaan keimanan (akidah), pembinaan dan pembiasaan ibadah, pendidikan perilaku (akhlak), pembentukan jiwa, pembentukan intelektualitas serta pembinaan interaksi sosial kemasyarakatan. Masing-masing mempunyai cara praktis yang harus dilaksanakan.


1. Pembinaan keimanan. 

Pembinaan keimanan bisa dilakukan dengan cara: mengajarkan keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat dan menyertai manusia dimanapun ia berada; menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah saw. serta menjadikan Rasulullah, keluarga dan para Sahabatnya sebagai contoh; menyibukkan anak dengan membaca al-Quran dan as-Sunnah sekaligusmembahas maknanya; membina keteguhan mereka dalam mempertahankan keyakinan dan siap berkorban untuk hal tersebut.
Pada masa pertumbuhan anak, merupakan karunia Allah bahwa hati manusia akan Allah lapangkan untuk dapat menerima keimanan tanpa harus mengungkapkan argumentasi.  Hal ini karena setiap anak yang lahir membawa nilai fitrah dan keimanan (QS al-A’raf [7]: 172).  Lihatlah, bagaimana Rasulullah saw. menjadikan Ali bin Abi Thalib ra., anak yang belum genap sepuluh tahun usianya, menjadi anak yang pertama memeluk Islam, mengenal Allah, mempelajari aturan-Nya serta membela agama Allah dan Rasul-Nya.

Rasul saw. pernah berwasiat kepada Muadz ra.:

وَانْفِقْ عَلَى عِياَلِكَ مِنْ طَوْلِكَ، وَلا عَنْهُمْ عَصَاكَ أَدَبًا، وَأَخْفَهُمْ فِي الله
Nafkahilah keluargamu sesuai dengan kemampuan yang kamu miliki. Janganlah kamu mengangkat tongkatmu di hadapan mereka serta tanamkanlah pada mereka rasa takut kepada Allah (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari).

Rasa takut kepada Allah SWT akan menghindarkan anak dari segala perbuatan buruk. Larangan Allah untuk mencela merugikan, melukai atau membunuh orang lain akan dipatuhi oleh anak yang punya rasa takut kepada Allah SWT.  Begitupun makanan dan benda yang diharamkan Allah, akan mereka jauhi.

2.  Pembinaan ibadah.

Pembinaan ibadah merupakan penyempur-naan dari pembinaan akidah, dan menjadi cerminan keyakinan.  Dr. Said Ramadhan al-Buthi mengatakan, “Agar akidah anak tertanam kuat dalam jiwanya, ia harus disirami dengan air ibadah dengan segala ragam dan bentuknya. Dengan begitu akidahnya akan tumbuh kokoh dan tegar dalam menghadapi terpaan badai dan cobaan kehidupan.”
Rasulullah saw. memberikan busyra (kabar gembira) dengan sabdanya, “Tidaklah seorang anak tumbuh dalam ibadah sampai ajal menjemput dirinya, melainkan Allah akan memberi dia pahala setara dengan 99 pahala shiddiq (orang-orang yang benar dan jujur).”
Pembinaan ibadah dilakukan dengan mendorong pelaksanaan shalat wajib, ditambah dengan melakukan shalat sunnah, selain mengajak mereka menghadiri shalat berjamaah di masjid.  Ibadah shalat akan mencegah anak dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-‘Ankabut [29]: 45). Mereka juga harus dibiasakan melakukan shaum sunnah karena shaum akan menguatkan daya kontrol anak terhadap segala keinginan.  Mereka akan terbiasa sabar dan tabah.  Demikian dengan amalan ibadah lainnya yang harus dibiasakan untuk dilaksanakan oleh anak-anak agar mereka mempunyai keterikatan dengan hukum-hukum Allah SWT.

3.  Pendidikan akhlak.

Akhlak adalah perangai yang dibentuk.  Karena itu anak memerlukan pendidikan akhlak agar aktivitas sosial mereka terhindar dari penyimpangan serta kesalahan. Anak sangat memerlukan pihak yang memperhatikan perilakunya. Mereka tumbuh sesuai dengan pembiasaan yang dilakukan oleh orangtuanya.  Perangai buruk seperti menyendiri, emosional, ceroboh, temperamental, serakah dan sebagainya adalah bentukan pendidik.  Begitupun perangai yang baik semisal sopan, peduli, dermawan, bijak, jujur dan sebagainya adalah bentukan pendidik. Oleh karena itu, jika pendidikan akhlak tidak diberi perhatian serius, perangai buruk akan menjadi masalah sebagaimana yang terjadi pada remaja dewasa ini.
Dalam pendidikan akhlak, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Adab (baik saat bergaul dan berinteraksi) adalah prioritas dalam pendidikan akhlak.  Dari adab yang baik akan lahir kebiasaan baik dan perilaku terpuji yang melahirkan amal salih. Adab yang buruk akan merusak pola pikir yang melahirkan kebiasaan buruk, membentuk perilaku hina dan rendah serta melahirkan amal-amal buruk lainnya.
Dalam hal ini, orangtua adalah contoh pertama, karena mereka adalah pendidik pertama.  Ajaklah anak untuk mendatangi ulama dan belajar dari mereka adab dan menjalankan nasihat mereka. Beberapa adab yang wajib diajarkan kepada anak adalah adab terhadap orangtua, bagaimana cara memanggil mereka dan memandang orangtua; adab terhadap orang yang berilmu, terhadap orang yang lebih tua; adab berinteraksi dengan sesama Muslim; adab dengan tetangga, meminta izin dalam berbagai hal (izin memasuki rumah orang, izin penggunaan hak milik orang, dan sebagainya); adab dalam berpenampilan; dan sebagainya.
Termasuk perilaku mendasar yang harus dibentuk pada anak adalah sikap amanah.  Setiap anak harus memiliki sikap amanah. Rasulullah saw. telah menegaskan tanggung jawab seorang anak atas amanah yang dia pikul. Rasulullah saw. tidak segan-segan untuk memberi sanksi kepada anak yang mengkhianati amanah dengan menjewer telinga anak tersebut.  Imam an-Nawawi menyebutkan dalam kitab Al-Adzkar: Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu Sinni dari Abdullah bin Bisir ash-Shahabi ra. Yang berkata: “Ibuku pernah menyuruh aku menemui Rasulullah saw. dengan membawa setandan anggur. Namun, aku memakan sebagian anggur itu sebelum menyampaikan-nya kepada Rasulullah saw.  Tatkala aku sampai di hadapan Rasulullah saw., beliau menjewer telingaku sambil berkata,

 ‘Wahai yang mengkhianati janji.’”

Begitupula tentang akhlak menjaga rahasia orang lain, menjaga kedengkian dan iri hati, serta jujur adalah sikap dasar yang harus dibentuk pada anak.

4.   Pembentukan jiwa.

Pembentukan jiwa dilakukan dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang dalam bentuk langsung yang terasa secara fisik seperti: ciuman dan belaian; bermain dan bercanda dengan mereka; menyatakan rasa sayang dengan lisan.  Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya Al-Adab al-Mufrad bahwa Abu Hurairah ra. Berkata, “Saya mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku, Rasulullah saw. memegang dengan kedua tangannya kedua telapak cucunya, Hasan dan Husain. Kedua telapak kaki mereka di atas telapak kaki Rasulullah saw.  Kemudian beliau berkata, ‘Naiklah.’ Lalu keduanya naik hingga kedua kaki mereka berada di atas dada Rasulullah saw.  Kemudian beliau berkata, ‘Bukalah mulutmu.’  Kemudian beliau menciumnya dan berkata, ‘Ya Allah saya mencintainya dan sungguh saya mencintainya.’”
Selain itu, bisa dilakukan dengan cara memberi mereka hadiah, penghargaan dan pujian.  Ini dapat memberi pengaruh besar pada rasa saling berkasih sayang antara orangtua dan anak serta akan membentuk jiwa yang lembut pada mereka. Rasulullah saw. pernah membagi manisan kepada anak-anak yang turut shalat ashar bersama beliau.  Bahkan beliau memberi tambahan bagian kepada mereka.  Cara lain membentuk jiwa anak adalah menyambut mereka dengan penuh kehangatan.  Sambutan penuh hangat akan membuka jiwa mereka dan akan memudahkan mereka untuk mengungkap-kan permasalahannya.
Sering menanyakan dan memperhatikan keadaan mereka adalah cara lain membentuk jiwa anak.  Sikap tanggap orangtua punya peran besar dalam mengatasi persoalan mereka.  Suatu hari Ummu Aiman melaporkan bahwa Hasan dan Husain hilang. Rasulullah saw. langsung meminta beberapa Sahabat untuk mencari ke berbagai arah.  Ketika ditemukan, Hasan dan Husain sedang berpelukan ketakutan karena di depan mereka ada ular.  Rasulullah saw. segera mengusir ular tersebut dan mendatangi kedua cucu beliau, melepaskan rangkulan mereka dan mengusap kepala mereka sambil berkata, “Demi ibu dan ayahku, semoga Allah memuliakan kalian.”  Kemudian beliau menggandeng mereka dan berkata, “Sebaik-baik penunggang adalah mereka berdua.”  Ini beliau lakukan untuk menghilangkan ketakutan mereka agar jiwanya kembali stabil dan tenang.  Perlakuan yang baik terhadap anak akan memberikan ketenangan kepada mereka, mendekatkan hubungan orangtua dan anak sehingga setiap masalah yang mereka hadapi dapat segera diselesaikan. Anak yang jiwanya dipenuhi perhatian dan kasih sayang akan memperlakukan orang lain dengan kasih sayang pula.

5.  Pembentukan intelektual.
Orangtua harus memotivasi anak agar semangat mencari dan mencintai ilmu.  Menuntut ilmu adalah ibadah utama yang mendekatkan hamba kepada Rabb-nya.  Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat baik untuk membangun keilmuan dan pemikiran mereka.  Orangtua harus membimbing anak memahami hukum-hukum Islam, mencarikan guru yang salih, mendidik anak terampil bahasa Arab dan bahasa asing yang diperlukan, mengarahkan anak sesuai kecenderungan ilmiahnya, menyediakan bahan bacaan di rumah dengan membuat perpustakaan rumah, mengisahkan riwayat orang-orang salih pada generasi lalu serta mendorong anak untuk mencontoh penguasaan keilmuan mereka.
Satu contoh adalah Ibnu Sina.  Menginjak usia 10 tahun, beliau telah memahami al-Quran dan adab dengan baik.  Beliau menguasai dasar-dasar agama, berhitung, ilmu mantik dan yang lainnya.  Ia mempelajari fikih, ilmu pengetahuan alam, tauhid dan lainnya sehingga Allah membukakan bagi dirinya semua pintu ilmu karena kecintaan dan kesungguhannya.  Kemudian ia senang mempelajari ilmu kedokteran sehingga pada masanya beliau dikenal sebagai ulama yang menguasai banyak ilmu dan saat itu usia beliau 16 tahun. Tatkala beliau menemui kebuntuan dalam memahami satu ilmu, beliau berwudhu dan menuju masjid untuk shalat dan berdoa agar Allah membukakan kunci ilmu untuk dirinya.  Beliau mengarang lebih dari 100 buku dan artikel tentang berbagai bidang keilmuan.  Semangat menguasai ilmu pada anak-anak akan mengefektifkan waktu mereka dari kesia-siaan dan aktivitas lain yang tidak berguna.

6.  Pembinaan kemasyarakatan.

Membina anak untuk melakukan interaksi sosial bersama masyarakat menumbuhkan sikap kepedulian dan tanggung jawab terhadap persoalan umat.  Interaksi mereka di tengah masyarakat memerlukan pemahaman yang matang.  Utamanya ketika mereka memasuki usia balig. Laksana orang dewasa, mereka terikat dengan aturan interaksi sosial, yakni hubungan antara laki-laki dan perempuan serta hukum-hukum kemasyarakatan seperti perekonomian, hubungan ketetanggaan, kekerabatan, pertemanan, dan lain sebagainya.  Anak harus memahami jenis pakaian apa yang harus dikenakan untuk keluar rumah, paham batas-batas hubungan antara lawan jenis, paham siapa yang harus dijadikan teman, dan bagaimana ia bersikap terhadap tetangga.  Kepada mereka juga harus dijelaskan tentang peran apa saja yang ditetapkan Islam saat berada di tengah masyarakat.  Pemahaman ini akan membentuk sikap kepedulian (tidak apatis) dan mendorong mereka untuk mengambil peran positif dalam masyarakat.
Ini bisa dilakukan dengan cara mengajak mereka ke majlis pertemuan orang dewasa, menghadiri kajian di masjid, turut dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, mengunjungi tetangga yang sakit, bermalam di rumah sanak saudara yang salih, turut memberikan sedekah kepada fakir miskin, ikut dalam organisasi sosial kemasyarakatan dan sebagainya.  Mereka juga bisa dilibatkan dalam urusan kebutuhan keluarga semisal ditugaskan untuk menagih hutang.  Mereka akan diajarkan untuk menagih hutang dengan cara yang santun.  Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Dulu ada orang yang suka memberikan pinjaman kepada orang lain.  Ia berpesan kepada anak laki-lakinya, ‘Jika kamu mendatangi orang yang sedang kesulitan maka maafkanlah ia. Semoga Allah memberikan ampunan kepada kita.’  Lalu ia pun meninggal dan Allah memberi dia ampunan.”
Hikmahnya adalah ketika anak terdidik untuk membantu keluarga, maka ia akan mempunyai kepekaan baru untuk mengetahui apa saja yang diperlukan keluarganya, sebelum orangtua mereka menjelaskan apa yang mereka perlukan.
Dari sini jelaslah bahwa membentuk pribadi anak yang salih memerlukan keluarga yang memahami ideologi Islam, lingkungan masyarakat yang menganut dan menjalankan syariah Islam, serta negara yang menerapkan sistem pendidikan Islam.  Tanpa semua itu, pembentukan anak salih seutuhnya sulit diwujudkan.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Ratu Erma R]





Seorang lelaki di antara orang-orang shalih melakukan shalat malam. Kemudian ia membaca firman Allah SWT:

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (TQS. Ali Imran [3] : 133).

Lelaki tersebut terus mengulang bacaan ayat itu sambil menangis hingga pagi. Dikatakan padanya: “Sungguh sebuah ayat telah membuatmu menangis. Mengapa ayat seperti itu membuatmu menangis. Padahal ia menjelaskan bahwa surga itu luas dan lebar.”  Lelaki itu berkata: “Wahai putra saudaraku (keponakanku)! Betapapun luasnya surga itu, tidak ada gunanya bagiku jika aku di sana tidak memiliki tempat pijakan bagi kedua kakiku.”



Siapakah seseorang yang lebih butuh untuk menangis dan lebih dekat pada penderitaan dari pada seseorang yang menyakini bahwa surga tempat kembalinya dan kenikmatan tempat peristirahatannya. Kemudian yang ia dapati justru berbeda dari apa yang telah ia yakini; atau seorang yang telah kehilangan ketaatan yang membuka jalannya menuju surga dan yang mendekatkannya pada surga.

Dalam hal ini, seperti menagisnya Yunus bin Ubaid ketika menjelang kematiannya ia memandangi kedua kakinya sambil menangis. Dikatakan kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Yunus berkata: “Kedua kakiku tidak ada bekas debu bahwa keduanya telah digunakan di jalan Allah!”.

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 16/02/2011.




Dari Ibnu Umar-semoga Allah meridhoi keduanya-bahwa Rasulullah Saw melewati (bertemu) seseorang di antara kaum Anshor yang sedang menasehati saudaranya terkait sifat malu, (karena ia begitu pemalu hingga banyak hak-haknya yang tidak terpenuhi, maka saudaranya itu pun marah). Melihat itu, Rasulullah Saw bersabda:

«دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ اْلإِيمَانِ»
Biarkan ia-dengan sifat malunya itu-sebab malu itu sebagian dari keimanan.” (HR. Al-bukhari dan Muslim).

Dari Imran bin Hushain-semoga Allah meridhoi keduanya-yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ»
Malu itu tidak akan mendatangkan (sesuatu), kecuali kebaikan.” (HR. Al-bukhari dan Muslim).

Sedangkan dalam riwayat Muslim, Rasulullah Saw bersabda:
«الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ»
Malu itu semuanya adalah kebaikan.”

Atau beliau bersabda:
«الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ»
Malu itu semuanya adalah kebaikan.”

Dari Abu Hurairah-semoga Allah meridhoinya-bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ»
Iman itu memiliki tujuh puluh tiga lebih atau enam puluh tiga lebih cabang. Sedang yang paling utama (tinggi) adalah ucapan ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah’; sementara yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan(batu, duri, kotoran, dll) dari jalan. Dan malu itu merupakan cabang dari keimanan.” (HR. Al-bukhari dan Muslim).

Dari Abu Sa’id al-Khudri-semoga Allah meridhoinya-yang mengatakan:
«كَانَ رَسُولُ اللّهِ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا فَإِذَا رَأَى شَيْئاً يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ»
Rasulullah Saw lebih pemalu dari pada perawan yang sedang dalam kamar pribadinya. Ketika beliau melihat sesuatu yang dibencinya, maka kami melihat hal itu dari wajahnya.” (HR. Al-bukhari dan Muslim).

Para ulama mengatakan bahwa hakikat malu adalah tabiat (kebiasaan) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan atau apapun yang buruk, keji dan cabul, serta mencegahnya dari mengabaikan hak orang lain.
Abu Qasim al-Junaidi-semoga Allah merahmatinya-berkata: “Malu adalah melihat berbagai kenikmatan dan melihat buruknya lalai terhadap perkara yang buruk, keji dan cabul. Kemudian dari keduanya itulah akan lahir suatu keadaan yang disebut dengan al-hayâ’, malu.” (Imam Nawawi, Riyâdhush Shâlihîn, hlm. 145).





Abdullah bin Umar, semoga Allah senantiasa meridhai keduanya berkata: Sungguh aku meneteskan air mata karena takut kepada Allah itu lebih aku cintai daripada aku bersedekah seribu dinar. (HR. Baihaqi dalam Sya’bul Iman). (Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 7/1/2011)
Rasulullah Saw bersabda:Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah daripada dua tetes dan dua bekas. Setetes air mata yang menetes karena takut kepada Allah, dan setetes darah yang tumpah di jalan Allah. Adapun yang dua bekas, maka yaitu bekas-di antaranya adalah bekas jihad-di jalan Allah, dan bekas dari melakukan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban dari Allah.(HR. Tirmidzi).





Ibnu Mas’ud berkata: “Cukuplah takut kepada Allah sebagai bukti bahwa ia berilmu. Sementara kurangnya rasa takut kepada Allah hanyalah menunjukkan kurangnya pengetahuan (ma’rifah) seorang hamba pada Allah. Dengan demikian, manusia yang paling mengerti (ma’rifah) adalah mereka yang paling takut kepada Allah. Barang siapa yang  telah mengenal (ma’rifah) kepada Allah, maka semakin besar rasa malu, takut dan cintanya kepada Allah. Dan setiap kali pengetahuan (ma’rifah) seorang hamba kepada Allah bertambah, maka bertambah pula rasa malu, takut dan cintanya kepada Allah. Rasa takut adalah tingkat thariqah (jalan mendekatkan diri kepada Allah) yang tertinggi. Rasa takut kelompok khash (mereka yang benar-benar menyerahkan hidupnya hanya untuk Allah semata) lebih besar dari rasa takut manusia pada umumnya. Mereka (kelompok khash) adalah yang paling membutuhkan kepada Allah, Allah melindungi mereka, dan mereka paling berkomitmen. Seorang hamba ada yang lurus dan ada yang bengkok. Sementara ia yang bengkok, maka rasa takutnya kepada sanksi (hukuman) tergantung kadar kebengkokannya. Dan iman itu tidaklah sah kecuali dengan rasa takut kepada Allah ini.
Rasa takut kepada Allah ini muncul dari tiga hal:
Pertama, ia telah mengerti kejahatan dan keburukannya.
Kedua, ia percaya (iman) dengan ancaman Allah, bahwa Allah telah menetapkan sanksi (hukuman) atas setiap kemaksiatan.
Ketiga, ia tidak tahu mungkin saja Allah menolak taubatnya, dan menghalangi antara ia dan taubatnya ketika ia melakukan kesalahan.
Dan hanya dalam tiga hal ini rasa takut kepada Allah akan muncul. Sementara kuat dan lemahnya sesuai dengan kuat dan lemahnya pengetahuan (ma’rifah) seorang hamba kepada Allah. Orang yang memikul (melakukan) kesalahan, mungkin ia tidak tahu keburukannya, tidak tahu akibat buruknya, dan mungkin juga terkumpul padanya dua hal itu, namun ia masih sangat bergantung pada taubat. Dan ini merupakan sebagian besar dari dosa-dosa orang-orang beriman. Sehingga apabila ia tahu dan sadar akan keburukan dosa, tahu dan sadar akan akibat buruknya, serta takut pintu taubat tidak dibuka untuknya, sehingga terhalang antara ia dan taubat, maka rasa takutnya akan semakin kuat. Ini sebelum ia melakukan dosa, dan jika ia telah melakukan dosa, maka rasa takutnya akan lebih besar lagi.” (Tharîq al-Hijratain wa Bâb as-Sa’âdatain, al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah).