KUANTITAS
MENJADI KUALITAS
Marilah kita mulai dengan hukum transformasi
dari kuantitas menjadi kualitas. Hukum ini menyatakan bahwa proses-proses
perubahan – gerak di alam semesta – tidaklah perlahan (gradual), dan juga tidak
setara. Periode-periode perubahan yang relatif gradual atau perubahan kecil
selalu diselingi dengan periode-periode perubahan yang sangat cepat – perubahan
semacam ini tidak bisa diukur dengan kuantitas, melainkan hanya bisa diukur
dengan kualitas.
Sebagai contoh, kembali kita ambil dari ilmu
alam, coba kita bayangkan saat kita memanaskan air. Anda hanya bisa betul-betul
mengukur ("melakukan kuantifikasi") dalam hal derajat
temperatur/suhu, yaitu perubahan ketika Anda menambahkan panas terhadap air
itu. Katakanlah, dari 10 derajat Celcius (ini adalah temperatur normal air
keran) menjadi sekitar 98 derajat Celcius, maka perubahan itu akan tetap
kuantitatif, yaitu air akan tetap berupa air, walaupun menjadi lebih panas.
Tetapi kemudian akan sampai suatu tahap dimana perubahan itu menjadi
kualitatif, dan air pun berubah menjadi uap. Anda tidak bisa lagi menjelaskan
perubahan itu hanya secara kuantitatif ketika air itu dipanaskan dari 98
derajat menjadi 102 derajat Celcius. Kita harus mengatakan bahwa suatu
perubahan kualitatif (air menjadi uap) telah terjadi akibat akumulasi perubahan
kuantitatif (menambahkan panas terus-menerus).
Dan inilah yang dimaksud oleh Marx dan Engels
ketika mereka menyebutkan transformasi dari kuantitas menjadi kualitas. Hal
yang sama dapat dilihat pada perkembangan species. Jika kita melihat ke
sekeliling, kita akan mendapati tingkat varitas dari homo sapiens. Varitas itu
dapat diukur secara kuantitatif, misalnya tinggi badan, berat badan, warna
kulit, panjang hidung, dll. Namun jika perubahan-perubahan evolusioner bergerak
maju sampai suatu tahap, dibawah pengaruh perubahan-perubahan lingkungan, maka
perubahan-perubahan kuantitatif akan berakumulasi menjadi suatu perubahan
kualitatif. Dengan kata lain, Anda tidak akan lagi bisa menandai perubahan pada
suatu species hewan atau tumbuhan itu hanya dengan detail-detail (rincian)
kuantitatif. Species tersebut akan jadi berbeda secara kualitatif. Sebagai
contoh, kita, sebagai suatu species, secara kualitatif berbeda dengan simpanse
atau gorila, dan mereka ini pun secara kualitatif berbeda dengan species
mamalia lainnya. Dan perbedaan-perbedaan kualitatif itu, lompatan-lompatan
evolusioner itu, terjadi akibat perubahan-perubahan kuantitatif di masa lalu.
Ide Marxisme ialah bahwa akan selalu terdapat
periode-periode perubahan gradual yang diselingi dengan periode-periode
perubahan tiba-tiba. Dalam kehamilan, misalnya, ada suatu periode perkembangan
yang gradual, dan kemudian suatu periode perkembangan yang sangat mendadak di
penghujung kehamilan itu. Sangat sering kaum Marxis menggunakan analogi
(perbandingan) kehamilan untuk menggambarkan perkembangan perang dan revolusi.
Hal tersebut menunjukkan lompatan-lompatan kualitatif dalam perkembangan
sosial; tetapi perubahan itu muncul sebagai akibat akumulasi
kontradiksi-kontradiksi kuantitatif dalam masyarakat.
NEGASI
DARI NEGASI
Hukum kedua dari dialektika adalah 'hukum
negasi dari negasi', dan sekali lagi, ini kedengaran lebih rumit daripada yang
sebenarnya. 'Negasi' dalam hal ini secara sederhana berarti gugurnya sesuatu,
kematian suatu benda karena ia bertransformasi (berubah) menjadi benda yang
lain. Sebagai contoh, perkembangan masyarakat kelas dalam sejarah kemanusiaan
menunjukkan negasi (gugurnya) masyarakat sebelumnya yang tanpa-kelas. Dan di
masa yang akan datang, dengan adanya perkembangan komunisme, kita akan
mendapati suatu masyarakat tanpa-kelas yang lain, yang ini akan berarti negasi
terhadap semua masyarakat kelas yang ada sekarang.
Jadi, hukum negasi dari negasi secara sederhana
menyatakan bahwa seiring munculnya suatu sistem (menjadi ada/eksis), maka ia
akan memaksa sistem lainnya untuk sirna (mati). Tetapi, ini bukan berarti bahwa
sistem yang kedua ini bersifat permanen atau tak bisa berubah. Sistem yang
kedua itu sendiri, menjadi ter-negasi-kan akibat perkembangan-perkembangan
lebih lanjut dan proses-proses perubahandalam masyarakat. Karena masyarakat
kelas telah menjadi negasi dari masyarakat tanpa-kelas, maka masyarakat komunis
akan menjadi negasi dari masyarakat kelas – negasi dari negasi.
Konsep lainnya dari dialektika adalah hukum
'interpenetration of opposites' (saling-menerobos dari hal-hal yang bertentangan).
Hukum ini secara cukup sederhana menyatakan bahwa proses-proses perubahan
terjadi karena adanya kontradiksi-kontradiksi – karena konflik-konflik yang
terjadi di antara elemen-elemen yang berbeda, yang melekat dalam semua proses
alam maupun sosial.
Barangkali contoh paling tepat dari 'interpenetration of opposites'
dalam ilmu pengetahuan alam adalah 'teori quantum'. Teori ini didasarkan atas
konsep bahwa energi memiliki karakter ganda – yaitu untuk beberapa tujuan,
menurut beberapa eksperimen, energi eksis dalam bentuk gelombang, misalnya
gelombang elektro magnetik. Tetapi untuk tujuan-tujuan
lain, energi mewujudkan diri sebagai partikel. Dengan kata lain, sama sekali
diterima di kalangan ilmuwan bahwa materidan energi sebetulnya bisa eksis dalam
dua bentuk yang berbeda pada satu waktu yang sama – di satu sisi, sebagai
sejenis gelombang yang tak kelihatan, dan di sisi lain, sebagai sebuah partikel
dengan 'quantum' (jumlah) energi tertentu yang ada di dalamnya.
Karena itu, basis dari teori quantum dalam ilmu
fisika modern adalah kontradiksi. Namun ada banyak lagi kontradiksi yang
dikenal dalam ilmu pengetahuan. Energi elektromagnetik, misalnya, menjadi
bergerak akibat dorongan positif dan negatif atas satu sama lain. Magnetisme
tergantung pada eksistensi kutub utara dan kutub selatan. Hal-hal ini tidak
bisa eksis secara terpisah (sendiri-sendiri). Mereka eksis dan beroperasi
justru akibat kekuatan-kekuatan yang bertentangan, yang ada dalam sistem yang
satu dan sama.
Hal yang serupa, setiap masyarakat saat ini
terdiri atas elemen-elemen berbeda yang bertentangan, yang bergabung bersama
dalam satu sistem, yang membuat mustahil bagi masyarakat apapun, di negeri
manapun untuk tetap stabil dan tak berubah. Metode dialektis – bertentangan
dengan metode logika formal – melatih kita untuk mengidentifikasi (mengenali)
kontradiksi-kontradiksi ini, dan dengan demikian berarti mempelajari secara
mendalam perubahan yang sedang terjadi.
Kaum Marxis tidak merasa malu untuk mengatakan
bahwa terdapat elemen-elemen yang bertentangan dalam setiap proses sosial.
Sebaliknya, justru dengan mengenali dan memahami kepentingan-kepentingan yang
bertentangan, yang terdapat dalam proses yang sama itu, maka kita akan mampu
untuk mengarahkan perubahan yang diinginkan, dan konsekuensinya juga berusaha
untuk mengidentifikasi maksud dan tujuan yang perlu dan mungkin dalam situasi
seperti itu untuk dirumuskan dari sudut pandang kelas-buruh.
Pada saat yang sama, Marxisme tidaklah
mengabaikan logika formal sama sekali. Akan tetapi, adalah penting untuk
melihat – dari sudut pandang pemahaman terhadap perkembangan-perkembangan
sosial – bahwa logika formal haruslah ditempatkan pada posisi kedua.
Kita semua menggunakan logika formal untuk
keperluan sehari-hari. Logika formal memberikan perhitungan-perhitungan yang
berguna bagi kita untuk komunikasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Kita
tidak akan bisa menjalani kehidupan normal tanpa berbasa-basi menggunakan
logika formal, tanpa menggunakan perhitungan bahwa satu sama dengan satu. Akan
tetapi, di sisi lain, kita harus melihat keterbatasan-keterbatasan logika
formal – keterbatasan-keterbatasan yang menjadi jelas dalam ilmu pengetahuan
jika kita mempelajari proses-proses secara mendalam dan mendetail, dan juga
ketika kita mempelajari proses-proses sosial dan politik dengan lebih teliti.
Dialektika sangat jarang diterima oleh para
ilmuwan. Beberapa ilmuwan dialektis, tetapi mayoritas, bahkan sampai saat ini,
selalu mencampur-adukkan pendekatan materialis dengan segala macam ide-ide
formal dan idealistik. Kalau seperti itu yang terjadi di bidang ilmu
pengetahuan alam, maka di bidang ilmu pengetahuan sosial adalah jauh lebih
parah. Penyebabnya cukup jelas. Jika Anda mencoba meneliti masyarakat dan
proses-proses sosial dari sudut pandang ilmiah, maka Anda tidak bisa
menghindari untuk sampai pada kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat
kapitalis, dan kebutuhan untuk transformasi sosial masyarakat.
Namun perguruan-perguruan tinggi, yang
seharusnya menjadi pusatstudi dan penelitian, dibawah sistem kapitalis ini jauh
dari independent terhadap kelas yang berkuasa dan negara. Itulah sebabnya
mengapa ilmu pengetahuan alam masih memiliki suatu metode ilmiah yang cenderung
kepada materialisme dialektis; tetapi ketikasampai pada ilmu pengetahuan
sosial, maka Anda akan mendapati di sekolah tinggi dan politeknik, serta
universitas-universitas, formalisme dan idealisme yang paling parah. Hal ini
bukannya tidak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan tertentu dari para
profesor dan akademisi yang digaji tinggi. Adalah jelas dan tak bisa dihindari
bahwa posisi istimewa mereka di mata masyarakat akan memiliki beberapa cerminan
dan pengaruh pada apa yang harus mereka ajarkan. Pandangan dan
prasangka-prasangka subyektif mereka sendiri akan disertakan dalam 'pengetahuan'
yang mereka sampaikan kepada mahasiswa mereka, dan begitu seterusnya sampai ke
tingkat sekolah-sekolah.
Sejarawan borjuis, khususnya, adalah di antara
ilmuwan-ilmuwan sosial yang paling berpandangan sempit. Berapa banyak kita
telah melihat contoh-contoh sejarawan borjuis yang membayangkan bahwa sejarah
berakhir kemarin! Di sini, di Inggris, mereka semua nampaknya mengakui
masa-masa mengerikan sewaktu imperialisme Inggris abad ke-17, 18, sampai abad
ke-19; bahwa Inggris terlibat dalam lalu lintas perdagangan budak; bahwa
Inggris juga bertanggung jawab terhadap penaklukan rakyat di tanah-tanah
jajahan yang paling berdarah; bahwa Inggris juga harus bertanggung jawab
terhadap eksploitasi paling buruk terhadap buruh Inggris, termasuk wanita dan
anak-anak di tambang-tambang batu bara, di pabrik-pabrik pemintalan kapas, dst.
Mereka akan menerima kenyataan adanya kekejaman
dan ketidakadilan ini, tetapi hanya sampai kemarin. Namun jika kita bicara
tentang masa sekarang, tentu saja, mereka akan menganggap bahwa imperialisme
Inggris tiba-tiba jadi demokratis dan progressif.
dan hal tersebut sepenuhnya cuma satu sisi
saja, satu cara pandang yang sepenuhnya berat sebelah dalam melihat sejarah,
yang secara diametris berlawanan dengan metode Marxisme. Marx dan Engels terbiasa
untuk memandang proses-proses sosial dari sudut pandang dialektis yang sama
sebagaimana mereka memandang alam - yaitu memandangnya dari sudut pandang
proses-proses itu sebenarnya terjadi.
dalam berbagai diskusi dan debat kita
sehari-hari di dalam gerakan buruh, kita akan seringkali menjumpai orang-orang
yanf formalis. Bahkan banyak orang kiri akan memandang berbagai hal dalam cara
yang kaku dan formal, tanpa pemahaman akan arah yand di dalamnya hal-hal
tersebut tadi bergerak.
Sayap kanan di dalam gerakan buruh, dan juga
beberapa orang di sayap kiri, percaya bahwa teori Marxis adalah dogma, yakni,
mereka percaya bahwa "teori" itu selayaknya beban seberat 600 pound
(1 pound = 2,2 kg) di atas pundak seorang aktivis, dan semakin cepat si aktivis
itu membuang beban tersebut, maka ia akan bisa makin aktiv dan efektif jadinya.
namun itu adalah konsepsi yang sepenuhnya
keliru mengenai keseluruhan sifat teori Marxis. pada kenyataan yang
sesungguhnya, Marxisme adalah lawan dari dogma. Marxisme setepat-tepatnya adalah
metode untuk memahami sepenuhnya proses-proses perubahan yang terjadi di
sekitar kita.
Tidak ada satupu hal yang ajeg, dan tiada pula
sesuatupun yang tetap tak berubah. adalah kaum formalis yang melihat masyarakat
sebagai foto yang tak bergerak, mereka dikuasai oleh situasi-situasi yang
mereka hadapi sebab mereka tidak mampu melihat bagaimana dan mengapa berbagai
hal akan berubah. pendekatan macam beginilah yang dapat dengan mudah menggiring
orang pada penerimaan yang dogmatis dari adanya berbagai hal sebagaimanan hal
itu ada ataupun telah ada sebagai benda yang ajeg, tanpa pemahaman tentang
ketidakmungkinannya perubahan untuk dielakkan.
Oleh karena itu teori Marxis adalah sepenuhnya
merupakan sebuah alat esensial bagi aktivitas apapun di dalam gerakan buruh.
Kita mesti secara sadar awas terhadap keuatan-kekuatan kontradiktif dalam
kerja-kerja kita di dalam perjuangan kelas, agar kita dapat mengorientasikan
diri kita ke dalam cara yang di dalamnya berbagai hal tengah berkembang.
Tentu saja, tidaklah senantiasa mudah untuk
membebaskan diri kita dari kerangka pikir yang masih mendominasi di dalam
masyarakat kapitalis dan menyerap metode Marxis. sebagaimana dikatakan Karl
Marx, tidak ada jalan mulus untuk menuju ilmu pengetahuan. Kadang kala kita
harus menempuh jalan berliku yang keras dalam usaha menggapai ide-ide politik
yang baru.
Namun tetaplah diskusi dan mempelajari teori
Marxis adalah sebuah bagian yang sepenuhnya esensial bagi setiap aktivis.
Hanyalah teori yang dapat melengkapi kawan-kawan dengan kompas dan peta di
tengah-tengah segala rupa kompleksitas perjuangan. sungguh bagus untuk menjadi
seorang aktivis, namun tanpa pemahaman yang sadar mengenai proses-proses di
mana kita terlibat di dalamnya, kita tidak akan lebih efektif daripada seorang
penjelajah tanpa peta dan kompas.
Dan jika kita coba untuk menjelajah tanpa
bantuan sains, kita dapat menjadi seenergik yang kita mau tetapi cepat atau
lambat akan terjerembab masuk jurang dalam atau pasir hisap dan lalu hilang
begitu saja, sebagaimana hal itu terjadi pada banyak aktivis selama tahun-tahun
yang sudah berlalu tanpa keberhasilan.
Ide memiliki kompas dan
peta adalah untuk memastikan posisi kita setepatnya. kita dapat menerka di mana
kita berada pada satu saat tertentu, ke mana kita akan melangkah, dan di mana
kita akan beradaa. dan itulah alasan fundamental mengapa kita perlu menggenggam
teori Marxis. sebab ia membekali kita dengan sebuah panduan yang sama sekali
tak ternilai harganya dalam menuntun aksi dan tindakan seajauh mana perhatian
kita adalah untuk gerakan kelas buruh