Oleh : Titin Erliyanti, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Aktivis
Hizbut Tahrir Indonesia)
Di..kedalaman hatiku, tersembunyi harapan yang suci..
Ta..k, perlu engkau menyangsikan..
Le..wat.. kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu,
tak perlu dengan.. kata-kata
Sungguh..hatiku kelu tuk’ mengungkapkan perasaanku..
Namun, penantianmu pada diriku, jangan salahkan..
Kalau memang..kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang..
Nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi..
kini belumlah saatnya aku membalas cintamu… nantikan ku..di batas.. waktu..
(Lirik dalam nasyid ‘Nantikanku di batas waktu’ oleh:Ad Coustic)
Ta..k, perlu engkau menyangsikan..
Le..wat.. kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu,
tak perlu dengan.. kata-kata
Sungguh..hatiku kelu tuk’ mengungkapkan perasaanku..
Namun, penantianmu pada diriku, jangan salahkan..
Kalau memang..kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang..
Nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi..
kini belumlah saatnya aku membalas cintamu… nantikan ku..di batas.. waktu..
(Lirik dalam nasyid ‘Nantikanku di batas waktu’ oleh:Ad Coustic)
SyariahPublications.Com — Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk
yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki
jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar
untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia
diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan
yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan
sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan
tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah
naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis
(gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia
ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan
pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu
tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut
adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau
bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa
berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini
tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang
ikhwan.
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang
tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar
tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan
seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat
manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di
dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya
adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang
harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap
gejala-gejala terserang ‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada
stadium yang akut (memangnya penyakit kanker.. ?).
I. Pengertian Khithbah
I. Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus
ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan
untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan
melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah
satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat
mengetahui calon pendamping hidupnya (Syamsudin Ramdhan, 2004:49).
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR. Kurnia, 2005:19)
menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap
seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau
keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang
dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya
untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk
melangsungkan pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran
untuk menikah,Allah Swt, berfirman :
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’.
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah
yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu
Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:
‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari)
‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari)
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw.
Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam
medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya)
datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligusmenikahinya.
Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki
boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua
atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin
‘Auf atas kejadian ini.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya
berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’.
Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya.
Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita
itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan
jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya
terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan
secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
II. Proses Khitbah
Dalam beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat. Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:
a. Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Syamsudin Ramdhan (2004:54) mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat,
diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia
tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw
pernah bersabda:
‘Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
‘Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa
banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati
untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat
mengkhithbah.
Sebagian ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak
tangan, melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan
anggota badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk
melihat, dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan
telapak tangan (MR.Kurnia, 2005:23)
b. Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia, dll (Syamsudin Ramdhan, 2004:55). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:
Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia, dll (Syamsudin Ramdhan, 2004:55). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang
mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas
pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim
dan Ahmad)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh
saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu
Hurayrah)
c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah An-Nabhaniy
(2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka
dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak
salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin
wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk
menikah.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:
Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (HR.Ibnu Abbas)
Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (HR.Ibnu Abbas)
Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
d. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat.
Menurut Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)
Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat.
Menurut Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)
e. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.
Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.
Menurut MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad
khitbah bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji
kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah
akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing
(bukan mahram) antara satu dengan lainnya.
Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:
‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu Hurayrah)
‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu Hurayrah)
Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan
perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci
bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan kemaluannya, (QS. An-Nur [24]:30-31)
III. Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah) (Muhamad Thalib, 2002:69)
Bagi seorang ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?
Berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu
antara Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman
Bin ‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim
kemudian dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini
Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula
hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw. (ibid).
Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan
pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau
bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga
menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah
diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana
potongan-potongan malam yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang
beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman
tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia
(HR.Muslim dan Abu Hurayrah)
Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah
disiapkan dan dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak
mengabaikan kebutuhan materi) merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah Swt:
Firman Allah Swt:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS.
An-Nur[24]:32)
*] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang
tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Rasulullah Saw bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka
menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka
harus tetap adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan
ketakawaan kepada Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut
sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at
ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang calon yang lain, dan sebagainya.
Namun bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa
diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan
mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:
Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena
sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan
Muslim).
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh
sekali-kali ia menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai
mahramnya, sebab nanti yang ketiganya adalah syetan (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
At-Taubah [9]:71)
Ataupun, juga perintah-Nya:
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua
pilihan yaitu berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan
khitbah. Kedua hal ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan
tujuan khithbah itu sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending
of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya
tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak
diperkenankan.
IV. Pembatalan Khithbah
Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan
ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter,
sikap, dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi
khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya
terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang
ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak
menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap
calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah
tersebut.
Pembatalan khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan.
Menganggap hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada
anggapan bahwa pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah
satu calon bagi calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun
menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain
nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun
kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan
khithbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul
pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri
khithbah dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak
menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu
diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan
tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan
kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut
bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar
bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki
kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan
lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga
nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.
Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku
apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu
calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar
alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan,
karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari
orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak
yang dikhithbahnya.
Rasulullah saw bersabda:
Sifat orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi, dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)
Sifat orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi, dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)
Adapun berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/
hibah dan dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut
tetap menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta
kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Muhammad Thalib (2002:76) mengungkapkan sebagai berikut, membatalkan
pinangan adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat
perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak
menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh
sebagian orang.
Mahar yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada
pinangannya berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena
mahar itu hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama
akad pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan belum mempunyai hak untuk
memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah ia dapatkan.
Adapun berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda
dengan hukum mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh
diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat
sebagai penggantian atas sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima
dari si pemberi, maka bagi pihak penerima barang tersebut sudah menjadi
kepemilikan bagi dirinya dan ia berhak untuk memanfaatkannya.
Iwan Januar (2005:4) mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang
mukmin menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri
kepada Allah Swt serta hanya memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw,
bersabda:
Menakjubkan keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya
adalah baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin:
Jika ia mendapat nikmat maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan
jika ia menderita kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya. (HR. Muslim)
Demikianlah sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal
yang terkait di dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi
kepada sahabat-sahabat untuk segera merealisasikan keinginan yang selama ini
telah menggebu-deru, namun masih terpendam dalam seolah enggan untuk nampak
kepermukaan karena terkekang oleh perasaan malu-malu dan unselfconffident.
Padahal, sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang wajar dan boleh kita lakukan
dengan disertai adanya kesiapan untuk memikul apapun resikonya.
Wallahu’alam bi shawab. (www.syariahpublications.com)
Referensi:
An-Nabhani, Taqiyudin. 2001. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Kitab Mutabanat Hizbut Tahrir. Bogor: PTI
Januar, Iwan. 2005. Bulan Madu Sepanjang Hari. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Kurnia, MR. 2005. Memadukan Dakwah dan Keharmonisan Rumah Tangga. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
………………..2005. Menjalin Cinta Suci. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Ramdhan, Syamsudin. 2004. Fikih Rumah Tangga. Pedoman Membangun Keluarga Bahagia..Bogor: Ide Pustaka
Thalib, Muhammad,Drs. 2002. 15 Tutuntunan Meminang Dalam Islam. Bandung: Irsyad Baitussalam
An-Nabhani, Taqiyudin. 2001. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Kitab Mutabanat Hizbut Tahrir. Bogor: PTI
Januar, Iwan. 2005. Bulan Madu Sepanjang Hari. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Kurnia, MR. 2005. Memadukan Dakwah dan Keharmonisan Rumah Tangga. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
………………..2005. Menjalin Cinta Suci. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Ramdhan, Syamsudin. 2004. Fikih Rumah Tangga. Pedoman Membangun Keluarga Bahagia..Bogor: Ide Pustaka
Thalib, Muhammad,Drs. 2002. 15 Tutuntunan Meminang Dalam Islam. Bandung: Irsyad Baitussalam
3 komentar:
bunga matahari mengatakan...
hmmmth...pernah di khitbah?kalau membatalkan khitbah di pihak laki,apa harus memberitahukan alasannya ke pihak perempuan?begitu juga sebaliknya?..apa ketika khitbah jika ada pertanyaan tentang dosa dan aib masa lalu harus di beritahu semua?apa batasan fisik yg dilarang dan batasan pertanyaan yg ditanyakan ketika proses khitbah?hehe..maap banyak tanya
Asih Tisany mengatakan...
Jika membatalkan khitbah lbh baik disertai alasan yg syar'i, an ungkapkan secara ma'ruf pula. Jika ada pertanyaan mengenai aib masa lalu setau sy blh tidk diungkpkan sebagai mana dilakukan para sahabat Namuna jika ini akan menyebabkan kemudhorotan ketika berumah tangga maka sebaiknya Diungkapkan
bunga matahari mengatakan...
Hmmht..brarti klw gx diungkapkan harus dengan kesepakatan kedua belah pihak..agar tidak mengungkit dan mempermasalahkan masa lalu masing2,klw misalnya si perempuan tsb mnta diberitahu tntang aib si laki,bagaimana hkumna?apa ada hadist atw ayat quran yg membahas mslah ini?mohon diberi tahu ?? Klw kmu dlu pernah khitbah?bagaimna?apa juga memberitahu masalalu msing2?..maap ya klw bnyak tanya