06.12 -
Posted by Asih Tisany -
JIKA kita membahas metode Marxisme, maka kita sedang bergelut dengan
ide-ide yang memberikan basis bagi aktivitas-aktivitas kita dalam gerakan
buruh, argumen-argumen yang kita kemukakan ketika kita mengikuti berbagai
diskusi, dan artikel-artikel yang kita tulis. Telah secara umum diterima bahwa Marxisme mengambil bentuknya dari tiga
akar pokok. Salah satu dari akar itu ialah analisis Marx tentang politik
Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan
perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19. Akar lain dari
Marxisme adalah apa yang disebut 'ekonomi Inggris', yaitu analisis Marx tentang
sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme,
yang menurut sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat
Jerman', dan aspek filsafat inilah yang ingin saya bahas di sini.Untuk memulainya, kita katakan bahwa basis Marxisme adalah
materialisme. Maksudnya, Marxisme dimulai dengan ide bahwa
materi adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal, dan
bukan sebaliknya.
Dengan kata lain, pikiran dan segala sesuatu
yang dikatakan berasal dari pikiran – misalnya ide-ide tentang seni, hukum,
politik, moralitas, dan sebagainya – hal-hal ini pada kenyataannya berasal dari
dunia material. 'Akal', yaitu pikiran dan proses berpikir, adalah sebuah produk
dari otak; dan otak itu sendiri, yang berarti juga ide-ide, muncul pada suatu
tahap tertentu dari perkembangan materi hidup. Jadi, akal adalah produk
dari dunia material.
Oleh karena itu, untuk memahami sifat sesungguhnya dari kesadaran dan
masyarakat manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Marx sendiri, persoalannya
adalah "bukan berangkat dari apa yang dikatakan, dikhayalkan, atau
dibayangkan oleh manusia… agar sampai pada yang namanya manusia dengan bentuk
seperti sekarang; melainkan berangkat dari manusia riil (nyata) dan aktif, dan
berdasarkan basis proses-kehidupan riil manusia yang menunjukkan perkembangan
refleks-refleks dan gaungan-gaungan ideologis dari proses kehidupan ini.
Bayangan-bayangan yang terbentuk dalam otak manusia adalah juga
gambaran-gambaran dari proses-kehidupan material, yang secara empiris dapat
dibuktikan kebenarannya dan terikat pada premis-premis(dalil) material. Jadi,
moralitas, agama, metafisika, dan segala macam ideologi serta bentuk-bentuk
kesadaran yang berhubungan (serupa) dengan itu, tidaklah independent (bebas).
Moralitas, agama, metafisika, dan segala macam bentuk ideologi itu tidak
memiliki sejarah, tidak memiliki perkembangan; tetapi manusia, yang
mengembangkan produksi material dan hubungan material mereka, mengubah –
seiring dengan eksistensi riil mereka – pemikiran dan produk-produk pemikiran
mereka. Kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan
oleh kehidupan. Dalam metode pendekatan pertama (non materialis), titik mulanya
adalah kesadaran yang dianggap sebagai individu hidup; dalam metode pendekatan
kedua (materialis), yang menyesuaikan diri (terhadap keadaanmaterial) adalah individu-individu
hidup riil itu sendiri, sedangkan kesadaran dianggap hanya sebagai kesadaran
mereka." (Ideologi Jerman, Bab
Satu).Karena itu, seorang materialis selalu berusaha mencari penjelasan bukan
hanya tentang ide-ide, melainkan juga tentang gejala-gejala material itu
sendiri, dalam hal sebab-sebab material, dan bukan campur tangan supranatural
oleh Tuhan, Dewa, atau yang semacam itu. Dan ini adalah aspek yang sangat
penting dari Marxisme, yang secara tegas menolak metode-metode pemikiran dan
logika yang telah mapan dalam masyarakat kapitalis.Perkembangan pemikiran ilmiah di negeri-negeri Eropa pada abad ke-17
dan 18 menunjukkan ciri-ciri yang sangat kontradiktif (bertentangan), yang
masih tetap khas (serupa) dengan pendekatan para teoritisi borjuis masa kini.
Di satu sisi, terdapat perkembangan ke arah metode materialis. Para ilmuwan
mencari sebab-sebab. Mereka tidak semata-mata menerima gejala-gejala alam
sebagai keajaiban Tuhan, melainkan mencari penjelasan atas gejala-gejala itu.
Namun seiring dengan itu, para ilmuwan ini tidak memiliki pemahaman materialis
yang konsisten dan menyeluruh; dan sering kali, di balik penjelasan-penjelasan
tentang gejala alam, ujung-ujungnya mereka masih mencari kaitannya dengan
campur tangan Tuhan dalam proses itu.Pendekatan seperti itu berarti menerima, atau setidaknya membuka
kemungkinan, bahwa dunia material yang kita diami ini dibentuk oleh keuatan
dari luar dunia, dan bahwa kesadaran atau ide-ide muncul lebih dahulu, yaitu
dalam hal bahwa kesadaran atau ide-ide bisa eksis (ada) secara independent
(tidak terikat) pada dunia riil. Pendekatan ini, yang merupakan lawan filosofis
dari materialisme, kita sebut 'idealisme'.Menurut pendekatan idealis ini, perkembangan umat manusia dan
masyarakat – baik seni, ilmu pengetahuan, dll. – ditentukan bukan oleh proses
material, melainkan oleh perkembangan ide-ide, oleh penyempurnaan atau
turun-temurunnya pemikiran manusia. Dan bukanlah kebetulan belaka bahwa
pendekatan umum ini, dinyatakan atau tidak, ternyata menyelubungi semua
filsafat kapitalisme. Para filsuf dan sejarawan borjuis secara umum menerima
sistem yang ada sekarang secara apa adanya. Mereka menerima bahwa kapitalisme
adalah suatu sistem yang telah lengkap dan tuntas, yang tidak bisa
digantikandengan sebuah sistem yang baru dan lebih maju. Dan mereka berusaha
untuk menjelaskan semua sejarah masa lalu sebagai usaha dari umat manusia yang
belum maju untuk mencapai semacam 'masyarakat yang sempurna', yang mereka yakin
bahwa kapitalisme telah mencapainya atau bisa mencapainya.Jadi, jika mempelajari karya dari beberapa ilmuwan atau pemikir besar
borjuis di masa lalu atau bahkan sekarang, kita dapat melihat betapa mereka
cenderung untuk mencampur-adukkan ide-ide materialis dan ide-ide idealis dalam
pikiran mereka. Isaac Newton misalnya, yang telah meneliti hukum-hukum mekanik,
gerakan planet, dan benda-benda planet, tidak percaya bahwa proses-proses ini
ditentukan oleh akal atau pikiran. Namun apa yang dia percaya ialah bahwa
tenaga penggerak awal diberikan kepada semua materi, dan bahwa dorongan awal
ini ditentukan oleh semacam kekuatan supranatural, yaitu oleh Tuhan.Hal yang serupa, adalah mungkin bagi banyak ahli biologi saat ini untuk
menerima ide bahwa species tumbuhan dan hewan berevolusi dari satu jenis
menjadi jenis lainnya, dan bahwa manusia sendiri adalah hasil perkembangan dari
species terdahulu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang terpaku pada
gagasan bahwa terdapat suatu perbedaan kualitatif antara akal manusia dengan
akal hewan, yaitu bahwa ada 'jiwa yang abadi' yang meninggalkan tubuh manusia
setelah kematiannya. Bahkan beberapa di antara ilmuwan yang paling termahsyur
juga mencampuradukkan metode materialis dengan ide-ide idealis seperti ini,
yang – kalau kita bicara secara ilmiah – ini sungguh-sungguh terbelakang, serta
lebih dekat kepada magic dan takhayul daripada kepada ilmu pengetahuan.Karena itu, Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan
fundamental dengan idealisme dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme
mencerminkan suatu pemahaman materialis tentang apa yang tengah terjadi dalam
realitas (kenyataan).
0 komentar: