Hukum syara’ adalah seruan pembuat syariat (as Syaari’) yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Sekalipun hanya dikatakan  perbuatan hamba (af’aalu ‘ibaad), tetapi cakupan hukum syara’ meliputi perbuatan (af’aal) dan benda (syaa’a). Hal itu disebabkan karena suatu perbuatan manusia adakalanya hanya berupa perbuatan dan tidak melibatkan benda, seperti tersenyum, bercakap-cakap, tidur dsb. Ada pula yang harus melibatkan benda, seperti makan, minum, berdagang dsb. Sehingga, sekalipun kedua berbeda dan harus dibedakan, benda tidak bisa berdiri sendiri dan senantiasa tekait dengan perbuatan.

            Di samping itu, memang seruan yang ada pada hukum syara’  adalah dalam kerangka memberikan solusi terhadap hamba, dan bukan benda. Adanya status hukum yang diberikan benda, sebenarnya tidak pernah terlepas dengan perbuatan hamba. Haramnya dzat babi, tidaklah ditujukan kepada babi itu sendiri, tetapi ditujukan manusia dalam menghadapi babi.

            Untuk memberikan status hukum pada jenis perbuatan yang tidak melibatkan benda, maka hanya dikaji status perbuatan itu saja. Sedangkan pada jenis perbuatan   yang melibatkan benda harus mengkaji keduanya (baik perbuatan dan bendanya). Jika perbuatan dan bendanya sama-sama boleh maka perbuatan itu boleh dilakukan. Jika kedua-duanya haram atau perbuatannya yang diharamkanya, maka  perbuatan itu tidak diperbolehkan. Sedangkan, jika bendanya diharamkan, maka masih memerlukan kajian lebih lanjut, apakah perbuatan tersebut halam atau haram.

            Status hukum makan binatang laut, misalnya,  adalah mubah. Karena keduanya, baik perbuatannya (makan) maupun benda yang dimakan  (ayam) sama-sama mubah. Berkaitan dengan perbuatan makan, Allah SWT berfirman:
يبني أدم خذوا زينتكم عند كل مسجد وكلوا واشربوا ولا تسرفوا (الأعراف 31)
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan (Al A’raf 31).

            Ayat ini menunjukkan bolehnya (mubah) perbuatan makan. Sedangkan, tidak disebutkannya maf’ul bih (objek) yang dimakan pada ayat di atas, dapat dipahami kebolehan memakan makanan secara mutlak.            Berkaitan dengan binatang laut, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang berwudlu dengan air laut Rasulullah SAW menjawab:
هو الطهور ماؤه الحل ميتته (أخرجه الأربعه عن أبي شيبة)
Ia (air laut) itu suci airnya, halal bangkainya (HR Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

            Hadits di atas menunjukkan halalnya bangkai binatang laut, tanpa disebutkan perbuatan yang berkenaan dengannya. Sehingga, jika dikaitkan dengan perbuatan makan, yakni memakan bangkai binatang laut, maka perbuatan itu hukumnya mubah. Karena, baik perbuatan maupun bendanya mubah.

            Sedangkan hukum mencuri bangkai binatang laut milik seseorang, hukumnya haram. Sekali pun bendanya halal, tetapi perbuatan yang dilakukan hukumnya haram, maka perbuatan tersebut hukumnya haram. Berkaitan dengan mencuri Allah SWT berfirman:
السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما (المائدة 38)
 Pencuri laku-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya ( Al Maidah 38).

            Sedangkan status  hukum makan babi adalah haram. Sekalipun hukum makan itu mubah, tetapi benda yang dimakan hukumnya haram (Al Maidah ayat 3), maka status perbuatan itu menjadi haram. Hanya saja, bila yang diharamkan itu bendanya, tidak secara secara otomatis semua perbuatan yang berkaitan dengannya hukumnya haram. Misalnya, hukum melihat babi tidaklah haram. 

Hukum Asal Benda  
            Kajian secara mendalam terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, menyimpulkan bahwa hukum  asal pada benda adalah mubah. Allah SWT berfirman:
هو الذي خلق لكم ما في الأرض جميعا (اليقرة 29)
Dialah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (Al Baqarah 29).

وسخر لكم ما في السموات و ما في الأرض جميعا منه (الجاثية 13)
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya (Al Jatsiah 12).

            Kata خلق لكم  (menjadikan untuk kamu) dan  وسخر لكم (menundukkan untukmu) pada ayat di atas menunjukkan bahwa Allah  SWT telah membolehkan semua benda kepada manusia. Sedangkan benda yang diharamkan bagi manusia, merupakan bentuk pengkhususan atau pengecualian, sehingga membutuhkan nash (dalil) yang menjelaskannya. Selama tidak ada dalil yang mengharamkan (seperti haramnya bangkai, darah, daging babi, keledai kampung, dsb), maka hukum benda itu tetap dalam hukum asal, yakni mubah. Dari ayat-ayat itu dihasilkan sebuah kaidah syara’ :
الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم
Hukum asal benda adalah mubah (halal), selama tidak ada dalil yang mengharamkan.
     
            Berkaitan dengan hukum narkoba, tidak ada perbedaan pendapat tentang haramnya narkoba. Al Iraqi dan Ibnu Taimiyyah (Subulus Salam juz IV hal 35) menceritakan bahwa terdapat ijma’ atas haramnya candu dan barang siapa yang menghalalkannya bisa menyebabkan kufur.  Yang berbeda hanya dalil yang digunakannya. Al Qordawi dalam kitab Al Halalu Wal Haram halaman 75 menggolongkannya sebagai khamr, karena sifatnya yang memabukkan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sayid Sabiq, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Fiqhus Sunnah hal 332), Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Husaini (Kifaayatul Akhyaar Juz II hal 188)..

            Sedangkan  Ash Shan’aniy, dalam kitab Subulus Salam (juz IV hal 35), beliau juga menggolongkan hashish (candu) sebagai sesuatu yang memabukkan, sehingga hukumnya haram. Keharaman benda memabukkan itu didasarkan pada hadits dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ما أسكر كثيره فقليله حرام (أخرجه أحمد والأربعة وصححه ابن حبان)
Apa yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya juga haram (dikeluarkan oleh Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

            Beliau menyatakan bahwa apa terjadi pada narkoba juga terjadi pula pada khamr, yakni sama-sama menyebabkan rasa girang dan mabuk. Meskipun begitu,  bila ada yang menolak anggapan bahwa candu itu memabukkan, beliau menjawab bahwa candu bisa melemahkan. Dalam hal ini, terdapat hadits dari Ummu Salamah, ia berkata:
نهى رسول الله صلى الله عليه وأله وسلم عن كل مسكر ومفتر (رواه أحمد)
Rasulullah SAW telah melarang setiap zat (bahan) yang memabukkan dan melemahkan (HR Ahmad dan Abu Daud). Imam As Suyuti, dalam kitab al Jami’ush Shoghir, menshahihkan hadits ini.

            Al Khathabiy menjelaskan bahwa makna al muftir adalah setiap minuman yang bisa mendatangkan futur (lemas, lemas) dan al khawar (lemah) pada anggota tubuh (Subulus Salam juz IV hal 35). 
            Jika kita mengkaji dalil-dalil yang digunakan, hadits yang melarang penggunaan benda yang memiliki sifat muftir, secara pasti dapat diterapkan pada narkoba. Narkoba, dalam  berbagai jenisnya, terbukti melemahkan pemakainya, baik fisik, mental, maupun intelektual. Hampir semua jenis narkoba bisa menyebabkan gangguan mental organik, sebagaimana telah dijelaskan dimuka.
            Disamping bisa melemahkan, narkoba juga bisa mengakibatkan dlarar (bahaya atau merusak  bagi manusia). Rasulullah SAW bersabda:
لا ضرر ولاضرار (رواه ابن ماجه)
Tidak (boleh) menimpakan  bahaya pada diri sendiri  dan kepada orang lain (HR Ibnu Majah).

            Nafi (peniadaan) yang ada pada hadits ini memberikan makna larangan.  Qorinah (indikasi)nya adalah bahwa keberadaan dlarar (bahaya) itu sesuatu yang  riil. Pada hal dalil syara’ tidak mungkin bertentangan dengan fakta. Maka hadits ini harus dipahami dengan dalalatul iqtidla’ (penunjukan yang didapatkan oleh makna yang mengharuskan keberadaannya), yakni dari nafiyyul wujud (peniadaan keberadaan) menjadi nafiyyul jawaz (peniadaan kebolehan), yakni berarti sebuah larangan terjadinya sesuatu yang membahayakan. Bahwa larangan itu merupakan larangan yang bersifat jazim (tegas dan pasti) yang melahirkan hukum haram, dipertegas oleh hadits lain. Dari Abu Shirmah Malik bin Qais Al Anshoriy, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
من ضر أضر الله به , ومن شاق شاق الله عليه (رواه أبو داود و النشائي والترمذي)
Barang siapa yang membahayakan, maka Allah akan mendatangkan bahaya , dan barang siapa yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkan kepadanya (HR Abu daud Nasa’i, dan Tirmidziy).

            Dari hadits-hadits tersebut, diambillah kaidah syara’:
الأصل في المضار التحريم
Hukum asal barang atau perbuatan  yang menimbulkan mudlarat adalah haram

            Bahaya khamr, sebagaimana dijelaskan di depan, sangat jelas baik secara individual maupun komunal. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, Narkoba dapat menimbulkan gangguan mental organik karena barang-barang itu memiliki efek langsung  terhadap susunan saraf (otak). Hal ini dapat dilihat pada perubahan-perubahan neurofisiologik dan psiko-fisiologik pada si pemakai dalam keadaan keracunan ( overdosis/itoksidasi) atau dalam keadaan ketagihan (putus zat / withdrawal) dalam kenyataannya terbukti menimbulkan bahaya.

            Selain dampak pada si pemakai, penyalahgunaan Narkoba juga bisa berbahaya bagi orang lain. Hawari, (1996) menyebutkan bahwa narkoba juga bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas (58,7%).            Di samping itu, narkoba umumnya digunakan untuk mendukung berbagai kemaksiatan penggunanya, seperti berdansa secara bercampur baur di berbagai diskotik, kafe, bar, pub, melakukan aktivitas aktivitas seksual secara bebas dan kemaksiatan lainnya. Ini terbukti dengan berbagai operasi yang selama digelar oleh polisi. Di tempat-tempat itulah biasanya polisi menemukan obat-obatan berbahaya tersebut.  Ini berarti, memakai narkoba bukan hanya haram, tetapi juga mendorong orang untuk melakukan perbuatan haram dan juga  bisa melalaikan berbagai kewajiban. Tidak terbayangkan, orang yang terbuai dalam ‘mimpi indah’  atau fly oleh narkoba masih ingat Allah, bisa dan mau sholat, puasa, dakwah dsb.  Maka narkoba itu diharamkan pula menurut kaidah syara’

الوسيلة إلى الحرام حرام
Setiap sesuatu (benda/perbuatan) yang bisa mengantarkan pada yang haram, maka hukumnya haram.

            Jika kita menelusuri dalil-dalil yang digunakan untuk memberikan status hukum pada  candu tersebut, maka kita mendapatkannya bahwa haramnya candu (dan jenis narkoba lainnya) tidaklah karena zatnya, sebagaimana pengharaman bangkai, darah, dan babi  yang diharamkan karena zatnya dengan firman Allah SWT :
حرمت عليكم الميتة و الدم و لحم الحنزير وما أهل لغير الله به
Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan atas nama selain Allah (Al Maidah 3).
            Juga khamr, yang diharamkan  karena zatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh  Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:
حرمت الخمر بـعينـها كثيرها وقليلها والمسكر من كل شراب
Diharamkannya khamr karena bendanya, banyak maupun sedikit.  Juga (diharamkan) yang memabukkan dari setiap minuman   (HR An Nasa’i dengan sanad hasan, Sunan An Nasa’i VIII hal 320 dan 321).
            Pada benda-benda tersebut secara jelas diharamkan karena zatnya/bendanya. Hal ini berbeda dengan pengharaman narkoba. Haramnya  narkoba bukan karena zatnya --karena tidak didapati satu pun ayat menunjukkan haramnya narkoba karena zatnya--  tetapi diharamkannya narkoba  karena memiliki sifat yang bisa melemahkan, baik fisik, mental, maupun intelektual, maka narkoba dapat terkategorikan sebagai benda yang memiliki sifat muftir (yang melemahkan). Atau karena sifatnya yang membahayakan.

            Jelaslah, hukum penggunaan narkoba itu haram. Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendatangkan dosa. Hanya saja, haramnya narkoba itu   bukan karena bendanya atau zatnya, tetapi karena sifat yang dimilikinya. Yakni, sifatnya yang bisa melemahkan bagi pemakainya, baik secara fisik, psikis, dan intelektualnya. Juga, sifatnya yang bisa menggiring  seseorang  terjerumus mengerjakan perbuatan haram lainnya.

            Ada perbedaan antara benda yang diharamkan karena zatnya dengan benda yang diharamkan karena sifatnya. Bedanya  adalah:
            Jika benda tersebut diharamkan karena zatnya, maka benda itu tidak akan pernah bisa berubah hukumnya menjadi halal, sekalipun pada benda tersebut dipandang memiliki manfaat apabila digunakan. Sedangkan benda yang diharamkan karena sifatnya, maka apabila sifat (yang diharamkan) itu sudah lenyap, maka benda tersebut menjadi boleh). Jika khamr  dan babi masuk kategori pertama, maka narkoba masuk kategori kedua.
            Karenanya, penggunaan beberapa bahan-bahan narkotika, seperti morfin, dalam dunia kedokteran untuk kegiatan pengobatan dengan dosis yang benar, sehingga tidak melemahkan dan membahayakan bagi orang dimasuki zat tersebut, maka penggunaan zat dalam keadaan seperti ini diperbolehkan. Hukum benda itu kembali kepada hukum asal benda.
            Namun, jika narkotika itu digunakan, yang bisa melemahkan dan merusakkan organ-organ tubuh, mental, dan intelektual, dan bisa mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia, sebagaimana yang terjadi sekarang ini terjadi, maka narkotika tersebut menjadi haram.
            Berbagai produk narkoba dengan berbagai jenisnya, seperti heroin, kokain, ganja, dan berbagai derivatnya  yang sekarang banyak beredar di tengah masyarakat, jelas bukan untuk kepentingan kedokteran atau pengobatan, tetapi diproduksi untuk dikonsumsi dan dinikmati yang berakibat melemahkan, merusak, tidak jarang bisa mengantarkan pada jurang kematian, bahkan kehanncuran sebuah masyarakat secara menyeluruh.

Hukum Memproduksi dan Meperdagangkannya

            Memproduksi adalah suatu usaha untuk mengadakan suatu barang. Dalam syari’at Islam, hukum memproduksi suatu barang mengikuti hukum barang itu sendiri. Apabila suatu benda itu diharamkan, maka memproduksinya juga haram. Kesimpulan ini didapat dari hadits Nabi SAW dari Anas ra. bahwa:
أن رسول الله لعن  في الخمر عشرة : عاصرهها و معتصرها و شاربها و حاملها و المحمولة إليه و ساقيها وبائعها وأكل ثمنها و المشتري لها و المشترى له
”Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat dalam khamr sepuluh personel, yaitu: pemerasnya (untuk keperluan umum), pembuatnya (untuk kalangan sendiri), peminum-nya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya, pembayarnya, dan pemesannya” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzy).

          Dari hadits tersebut, memeras  (memproduksi) khamar termasuk perbuatan  yang diharamkan. Hukum haram disimpulkan karena ada celaan yang bersifat jazim dengan kata la'ana (melaknat).          Larangan memeras khamr pada hadits di atas, bukan berarti larangan aktivitas memerasnya itu sendiri. Tetapi ia merupakan larangan untuk memeras khamr. Karena hukum memeras itu sendiri tidak haram. Yang diharamkan adalah apabila memeras khamr. Jadi keharaman industri khamr terletak pada keharaman zat yang diproduksinya. Dengan demikian, nampak jelas  bahwa hukum industri itu mengambil hukum barang-barang yang diproduksinya.
          Atas dasar itu, memproduksi narkoba -- selain beberapa jenis narkotika yang memang sengaja dibuat untuk pengobatan dan keperluan kedokteran seperti, morfin yang digunakan untuk anti nyeri, biasanya diberikan pada pasien pasca bedah trauma karena patah tulang -- adalah haram.            Sedangkan hukum memperjualbelikannya juga haram. Kesimpulan ini  didapatkan dari hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra. bahwa Rasulullah bersabda:
إن الله و رسوله حرم بيغ الخمر و الميتـة و الخـنزير و الأصنام، فقيل : يا رسول الله أرأيت شحوم الميتة فإنها تطلى بها السفن و تدهن بها الجلود و يستصبح الناس؟ فقال لا هو حرام ثم قال رسول الله ص قاتل الله اليهود  إن الله تعالى حرم عليهم شحومها جملوها ثم باعوه فأكلوا ثمنه (متفق عليه)
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung. Lalu ditanyakan kepada Rasulullah,”Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau bangkai yang digunakan untuk mengecat  perahu, menghaluskan  kulit, dan sebagai penerangan?” Rasulullah menjawab,”Tidak boleh. Itu tetap haram” kemudian Rasulullah SAW melanjutkan”Allah mengutuk orang Yahudi. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak pada mereka. Mereka memperbaikinya, lalu menjual dan memakan hasilnya” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).

            Dalam hadits di atas secara jelas Rasulullah SAW mengharamkan jual beli khamr. Tidak ada satu pun dari lafadz hadits tersebut yang menunjukkan illat tertentu diharamkannya tindakan tersebut. Juga, Rasulullah SAW menjelaskan hukuman yang diberikan kepada orang Yahudi walaupun mereka tidak memakan lemak yang diharamkan atas mereka, kemudian mereka menjualnya kepada orang lain. Demikian pula, tidak dijumpai satu nash pun yang menunjukkan adanya illat pada larangan tersebut. Sehingga, larangan tetap bersifat mutlak. Bahkan Ibnu Abbas ra. meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
لعن الله اليهود حرمت عليهم الشحوم فباعوها وأكلوا أثامنها، وأن الله إذا حرم على قوم أكل  شيء حرم عليهم ثمنـه
“Sesungguhnya Allah mengutuk orang-orang Yahudi. Diharamkan kepada mereka lemak, lalu mereka menjual dan memakan hasilnya. Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka haram pula bagi mereka hasil penjualannya” (HR Imam Ahmad dan Abu Daud).

            Ini berarti bahwa segala sesuatu yang diharamkan bagi hamba, maka memperjualbelikannya juga haram, tidak berbeda apakah terdapat manfaat didalamnya atau tidak. Hukum seperti itu juga diterapkan pada penjualan patung, salib, relief yang menggambarkan manusia dan hewan, juga lukisan dengan menggunakan tangan yang memiliki ruh seperti lukisan manusia dan hewan (Asy Syakhshiyyah Islamiyyah II hal 299). Imam Syaukani mengatakan bahwa, ”Sesungguhnya setiap yang diharamkan Allah kepada hamba, maka menjualnya pun haram, disebabkan karena haramnya hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah) kuliyyah tersebut, kecuali sesuatu yang telah dikhususkan oleh dalil”  (Nailul Authar V hal 221). Demikian juga Rasulullah secara umum melarang memakan hasil penjualan barang yang diharamkan memakannya. Sehingga, para fuqaha memberikan kesimpulan bahwa salah satu syarat barang boleh  dijualbelikan adalah benda yang suci zatnya, yakni  tidak haram dan tidak najis.

            Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka turut serta memasarkan, mendistribusikan, dan memperjualbelikan narkoba adalah haram. Lebih-lebih menjadi bagian dari sindikatnya, yang terus-menerus mencari mangsa. Apabila narkoba diharamkan diperjualbelikan dan dimakan hasilnya, maka memberikannya sebagai hadiah --tanpa uang pengganti-- juga diharamkan, baik diberikan kepada seorang muslim, yahudi, nasrani, atau lainnya. Dari Abu Hurairah ra. menceritakan bahwa ada seorang pria akan memberikan hadiah Rasulullah SAW sebuah minuman khamr, maka Rasulullah SAW berkata:
إنها قد حرمت فقال الرجل أفلا أبيعها ؟ فقال إن الذي حرم شربها حرم بيعها قال أفلا أكارم بها اليهود؟ إن الذي حرمها حرم أن يكارم بها اليهود قال فكيف أصنع بها قال شنها على البطحاء
Sesungguhnya khamr itu telah diharamkan. Laki-laki itu bertanya,”Apakah aku harus menjualnya?”, Rasulullah SAW menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan meminumnya, diharamkan pula menjualnya”.  Laki-laki itu bertanya lagi,”Apakah aku harus memberikan kepada orang Yahudi?” Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya Yang mengharamkannya, telah mengharamkan pula diberikan kepada orang Yahudi". Laki-laki itu kembali bertanya,”Lalu apa yang harus saya lakukan dengannya?” Beliau menjawab,”Tumpahkanlah ke dalam selokan” (HR Al Khumaidi dalam Musnad-nya).

        Pada hadits tersebut Rasulullah SAW melarang memberikan khamr (suatu benda yang diharamkan) kepada orang lain, termasuk kepada orang Yahudi maupun Nasrani. Berarti, jika Narkoba, termasuk benda yang diharamkan, maka memberikannya kepada orang lain juga haram.



This entry was posted on 05.21 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

    ANNAS mengatakan...

    di negara demokrasi ini Produsen dan pengedar miras masih dibolehkan beroperasi sejak JAman DahULu hingga Sekarang. Sampai kapan ya ? #mikirIslam

  1. ... on 22 Maret 2017 pukul 22.22